AI dan Nurani Siapkan SDM Unggul Indonesia
BANDUNG, MHI – Hujan semalam masih meninggalkan aroma tanah basah di Bandung. Udara pagi terasa segar, meski di salah satu gedung futuristik di kawasan Sains dan Teknologi Samaun Samadikun, suasana lebih panas.
Panas oleh ide, oleh antusiasme, dan oleh rasa ingin tahu yang sama yaitu bagaimana teknologi bisa membantu manusia, bukan menggantikannya, untuk menyiapkan SDM unggul di Indonesia.
Di ruang rapat itu, laptop-laptop terbuka, secangkir kopi mengepul, dan kertas-kertas penuh coretan ide berserakan.
Sekelompok peneliti dari Unitomo Surabaya bersama mitra Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tampak serius berdiskusi. Mereka datang ke Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bandung bukan untuk seremonial atau foto bersama.
Mereka datang membawa satu misi: bagaimana AI-Based Career Readiness Model bisa menyiapkan mahasiswa Indonesia agar lebih siap menghadapi dunia kerja yang bergerak cepat.
Proyek ini memang terdengar teknis. Sistem ini menggunakan machine learning dan natural language processing untuk membaca CV dan video perkenalan mahasiswa, menganalisis kompetensi mereka, lalu mencocokkannya dengan kebutuhan dunia industri.
Namun di balik istilah rumit itu, ada tujuan yang sederhana dan manusiawi yaitu membantu mahasiswa menemukan jalan yang tepat, dan memberi universitas informasi yang akurat untuk menyesuaikan kurikulum.
Kepala Pusat Riset BRIN, Dr. Anto Satriyo Nugroho, menyambut mereka dengan hangat. “AI bukan hanya alat pintar. Ini jendela baru untuk melihat realitas sosial. Dengan data yang tepat, kita bisa mengambil keputusan yang lebih manusiawi,” ujarnya sambil menatap layar yang menampilkan visualisasi data lulusan.
Diskusi berlangsung hangat. Para peneliti dari Unitomo, Unesa, dan BRIN saling menanggapi berbagi ide, dan sesekali tertawa kecil ketika istilah teknis muncul.
Salah satu peneliti BRIN menegaskan, AI bisa memberi skor kesesuaian antara lulusan dan kebutuhan industri. Dari situ, universitas tahu bagian mana dari kurikulumnya yang harus diperbarui.
“Ini bukan mengganti peran dosen, tapi membantu mereka mengambil keputusan lebih tepat,” tandasnya.
Di sudut ruangan, Dr. Meithiana Indrasari, Ketua Tim Peneliti RIIM–Kompetisi 2025, menatap laptopnya, lalu menoleh ke rekan-rekannya. “Riset ini bukan sekadar laporan akademik,” katanya pelan namun tegas.
“Kami ingin membangun ekosistem yang hidup, yang menumbuhkan manusia, bukan mesin. AI boleh menghitung, tapi manusia tetap yang memutuskan. Yang kita kejar bukan hanya efisiensi, tapi juga makna.”
Ia percaya, pendidikan tinggi harus mengikuti ritme zaman tanpa kehilangan jiwanya. “Kita tidak boleh membiarkan teknologi berjalan sendiri. Mesin bisa memberi skor, tapi nurani tetap di tangan manusia,” tambahnya.
Dari pertemuan itu, lahir ide-ide lanjutan. Penelitian di bidang keamanan siber, pengembangan Career Development Center berbasis AI, hingga sistem analisis data lulusan yang bisa diakses lintas kampus.
Semua bertujuan membangun ekosistem yang menyatukan pendidikan tinggi, kebijakan nasional, dan kebutuhan industri.
Yang turut dalam diskusi itu, dari Unesa antara lain ada Dr. Eko Pamuji dan Tatak Setiadi, M.A., dari Unitomo ada Alda Raharja, S.Kom., M.MT., serta Tri Handayani, S.Kom., M.S.M. dari BRIN.
Mereka datang dari disiplin ilmu berbeda, tapi memiliki kesamaan pandangan bahwa masa depan pendidikan harus dibangun atas kolaborasi dan empati.
Kegiatan ini bagian dari program Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) dengan skema pendanaan kompetitif BRIN yang mendorong riset aplikatif untuk kemajuan bangsa.
Proyek Unitomo sendiri berjalan selama tiga tahun, dari 2025 hingga 2027, dengan fokus mengintegrasikan kebijakan, akademik, dan teknologi kecerdasan buatan dalam satu ekosistem pembelajaran baru.
Sepanjang diskusi, percakapan sering melompat dari teknis ke visi besar. Dari membahas algoritma, mereka bergeser ke pertanyaan yang lebih mendasar:
1. Bagaimana AI bisa membantu mahasiswa memahami potensi diri mereka sendiri.
2. Bagaimana teknologi bisa membantu tanpa menggantikan peran manusia.
3. Bagaimana universitas bisa menjadi lebih responsif, namun tetap manusiawi.
Menjelang sore, langit Bandung mulai meredup, dan gerimis tipis kembali turun. Para peneliti mulai berkemas pelan. Ada rasa lelah, tapi juga semangat yang tumbuh.
Mereka tahu pekerjaan ini bukan hanya soal algoritma atau CV digital. Ini tentang mahasiswa, tentang dosen, dan tentang bagaimana pendidikan tinggi bisa beradaptasi dengan cepat tanpa kehilangan makna kemanusiaan.
Di dunia yang bergerak semakin cepat, AI bisa memproses data, menilai kompetensi, dan membuat prediksi. Tapi hanya manusia yang bisa menafsirkan makna, menimbang pilihan, dan memberi arah.
Di sinilah letak tantangan dan harapan terbesar riset ini yaitu memastikan teknologi menjadi sahabat manusia, bukan pengganti.
Dan di hari itu, di gedung BRIN Bandung, tampak jelas satu hal: ketika AI dan nurani bertemu, masa depan pendidikan bisa dibangun dengan cerdas. (*)