Catatan Akhir Pekan Adi Warman+62 RELIGIUS, GEMAR KORUPSI, ADA YANG SALAH ?!

“Solusi? Pendidikan karakter berbasis integritas harus diperkuat, bukan hanya di sekolah, tetapi juga dalam lingkungan keluarga dan institusi negara. Penegakan hukum tanpa tebang pilih juga mutlak diperlukan. Lebih dari itu, perlu ada revolusi hukum dan mengembalikan religiusitas kepada esensinya, yaitu sebagai pedoman moral yang nyata dalam tindakan, bukan sekadar identitas sosial”

Mata Hukum, Jakarta – Indonesia, negeri dengan populasi mayoritas religius, namun ironi tak terbantahkan: praktik korupsi tetap subur. Jika keimanan menjadi pedoman hidup, mengapa kasus korupsi terus merajalela? Pertanyaan ini mengusik logika, seolah ada disonansi antara keyakinan spiritual dan realitas tindakan.

Religiusitas: Simbol atau Esensi?

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Ritual keagamaan, dari sholat berjamaah, pengajian, hingga deklarasi iman di ruang publik, adalah hal lumrah. Namun, apakah religiusitas ini benar-benar tertanam dalam kesadaran moral atau sekadar menjadi simbol sosial?
Fakta menunjukkan bahwa tak sedikit pejabat publik, pengusaha, dan elite politik yang tersandung kasus korupsi adalah individu yang secara terbuka menunjukkan sisi religiusnya. Mereka tak segan mengutip ayat suci, rajin berderma, bahkan aktif dalam kegiatan keagamaan. Namun, di saat yang sama, tangan mereka bermain dalam praktik korupsi, mengkhianati amanah rakyat.

Korupsi: Antara Sistem dan Mentalitas

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan individu, tetapi sudah menjadi bagian dari sistem. Budaya patronase, birokrasi yang berbelit, serta celah hukum yang bisa dimanfaatkan membuat korupsi begitu mengakar. Namun, jika sistem buruk menjadi alasan, bagaimana dengan tanggung jawab pribadi?

Dalam banyak kasus, para pelaku bukan hanya tergoda oleh sistem, tetapi juga oleh pola pikir serakah. Mereka beranggapan bahwa selama bisa lolos dari jerat hukum atau berbagi keuntungan dengan pihak-pihak yang berwenang, maka tindakan mereka aman. Ironisnya, mereka juga percaya bahwa dengan beramal atau menjalankan ritual keagamaan, dosa mereka dapat ditebus.

Ada yang Salah?

Jelas ada yang salah. Religiusitas semestinya menjadi benteng moral, bukan tameng untuk menutupi kebobrokan. Jika ajaran agama hanya berhenti pada ritual dan tak meresap ke dalam kesadaran etik, maka religiusitas itu hanya menjadi formalitas tanpa makna.

Solusi? Pendidikan karakter berbasis integritas harus diperkuat, bukan hanya di sekolah, tetapi juga dalam lingkungan keluarga dan institusi negara. Penegakan hukum tanpa tebang pilih juga mutlak diperlukan. Lebih dari itu, perlu ada revolusi hukum dan mengembalikan religiusitas kepada esensinya, yaitu sebagai pedoman moral yang nyata dalam tindakan, bukan sekadar identitas sosial.

Maka, jika ada yang bertanya, “+62 Religius, Gemar Korupsi, Ada yang Salah?!” Jawabannya jelas: bukan hanya ada yang salah, tetapi ada yang harus segera diperbaiki!

DR. Adi Warman., S.H., M.H., M.B.A. / Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat GN-PK (Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi) – Pakar Hukum – Pengamat Sosial, Politik Dan Keamanan.