IJTI Blitar Raya Tolak Peringatan HPN, Ini Alasannya

Blitar,MHI– Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Blitar Raya menolak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada 9 Februari, karena beberapa alasan terkait dasar penetapannya.

Dikatakan Ketua IJTI Korda Blitar Raya, Robby Ridwan pihaknya dengan tegas tidak akan memperingati HPN pada 9 Februari.

Ia juga meminta pada seluruh anggota IJTI, untuk tidak terlibat dalam kegiatan HPN yang dilakukan organ lain maupun Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ikut merayakan.

IJTI akan memperingati HPN jika sudah ada perubahan tanggal dan bulan HPN oleh pihak terkait dan pemerintah, yang dapat merepresentasikan perjuangan Pers Nasional atau adanya peristiwa pers nasional,” ujar Robby, Senin (6/1/2025).

Pernyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan kalau posisi IJTI meminta pada stakeholder (pemangku kepentingan), mengganti tanggal dan bulan HPN.

Herik menegaskan bahwa tanggal dan bulan yang digunakan sebagai peringatan HPN sudah tidak relevan lagi.

Salah satu alasan ketidaksepakatan adalah 9 Februari dianggap kurang mencerminkan esensi kebebasan dan perjuangan pers di Indonesia,” ungkap Herik.

Herik beralasan ketidaksepakatan tanggal dan bulan HPN sebagai berikut :

1. Harusnya pemilihan tanggal HPN relevan dan reflektif terhadap sejarah kebebasan pers. Jadi bisa menjadi momentum penting komunitas jurnalis.

2. Penetapan HPN pada tanggal 9 Februari seolah-olah mengabaikan kontribusi organisasi pers lain di Indonesia yang juga berjuang untuk kebebasan pers.

3. Tidak ada peristiwa monumental dalam perjuangan kebebasan pers yang terjadi pada tanggal 9 Februari. Harusnya dipilih tanggal-tanggal sebagai seperti 23 September (Hari Lahir Surat Kabar “Medan Prijaji” pada 1907) atau 8 Juni (Hari Terbitnya Surat Kabar “Soeara Rakjat” pada 1903) dianggap lebih merepresentasikan tonggak sejarah pers Indonesia, 3 Mei (Hari Pers Sedunia_ atau yang kemarin disepakati 10 konstituen dipilih pada hari lahir UU Pers No 40/1999.

4. HPN yang dirayakan pada 9 Februari sering dianggap kurang mencerminkan semangat reformasi pers yang diperjuangkan pasca jatuhnya Orde Baru. Seharusnya HPN merefleksikan kebebasan, independensi, dan perjuangan pers melawan kontrol pemerintah.

5.HPN seharusnya tidak sekadar seremonial, tetapi menjadi momen untuk merefleksikan situasi kebebasan pers dan tantangan yang dihadapi. Tanggal 9 Februari dinilai lebih berfokus pada kepentingan simbolik daripada substansi perjuangan pers.

Kita menghargai peristiwa besar yang dihadiri 180 orang yang susah payah datang dari berbagai daerah dan dari negeri lain seperti Kongres di Surakarta. Tentu saja peristiwa itu harus dihargai,” paparnya.

Tapi sejarah harusnya mengurut benih dari Kongres itu, karena Kongres itu sejatinya hanyalah perjalanan dari sebuah tonggak. Tonggak itulah yang harus jadi patokan karena dia adalah akar, bukan kongres yang menjadi buahnya.

Kongres yang dihadiri 180 orang itu dari berbagai daerah itu, tidak mungkin terjadi kalau tidak ada yang memulai pergerakan mendirikan media, melawan penjajah dengan pikiran lewat tulisan.

Memakai Kongres 1946 itu sebagai patokan meredusir peran pers, menjadi sekadar sebagai pengisi kemerdekaan atau paling jauh mempertahankan kemerdekaan.

Padahal para pendiri pers yang menjadi tonggak itu ikut memperjuangkan kemerdekaan.

HPN itu bukan sekedar peringatan tentang kebebasan berpendapat, tapi kebebasan dan kemerdekaan dari belenggu penjajah, perannya sudah jauh sebelum kita merdeka imbuhnya. (*)