
Wakil Wali Kota Blitar Tolak Hadir di Mutasi Pejabat, “Tak Dilibatkan, Jadi Untuk Apa?”
Blitar,MHI- Suhu politik di Balai Kota Blitar memanas. Wakil Wali Kota Blitar, Elim Tyu Samba, secara terang-terangan menolak hadir dalam acara pelantikan pejabat hasil mutasi yang digelar Wali Kota Syauqul Muhibbin, Senin (14/10/2025). Alasannya tegas: ia merasa dikesampingkan dan tidak diajak rembugan dalam proses mutasi jabatan tersebut.
“Saya ini wakil wali kota, bukan penonton. Tapi dari awal tidak pernah diajak bicara, tidak diberi tahu siapa yang dimutasi, siapa yang naik, siapa yang turun. Jadi, untuk apa saya hadir?” ujar Elim dengan nada kecewa ketika ditemui di kantornya.
Langkah Elim ini sontak menjadi sorotan publik. Di kalangan birokrasi, sikapnya dianggap bentuk pembangkangan terbuka terhadap wali kota. Namun di sisi lain, banyak yang menilai Elim hanya berani menyuarakan kekesalan yang selama ini dipendam di internal pemerintahan.
Sindiran Tajam dari Wali Kota: “Wakil Itu Pembantu”
Tak tinggal diam, Wali Kota Syauqul Muhibbin melontarkan pernyataan menohok. Ia menyindir posisi wakil wali kota yang menurutnya hanyalah “pembantu kepala daerah” sesuai ketentuan undang-undang.
“Wakil itu tugasnya membantu, bukan menentukan. Semua sudah sesuai mekanisme dan kewenangan saya sebagai wali kota,” kata Syauqul, Selasa (15/10/2025)
Pernyataan itu seolah menjadi pukulan balik yang mempertegas retaknya hubungan dua pucuk pimpinan kota tersebut.
Menanggapi sindiran itu, Elim dengan enteng mengatakan. “Tidak apa-apa saya disebut pembantu, karena memang tugas kita melayani masyarakat. Tapi jangan lupa, pelayan juga punya hati,” ujarnya.
Mutasi yang Jadi Batu Uji Kekuasaan
Perseteruan ini muncul setelah Pemkot Blitar melakukan mutasi besar-besaran terhadap sejumlah pejabat eselon III dan IV. Di balik keputusan itu, terselip aroma politik yang kuat. Beberapa pejabat lama disebut-sebut digeser karena dianggap tidak loyal, sementara wajah-wajah baru muncul dari kalangan dekat wali kota.
Meski Wali Kota menegaskan mutasi sudah sesuai mekanisme UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, namun absennya wakil wali kota dalam proses pengambilan keputusan memunculkan tanda tanya besar soal transparansi dan etika pemerintahan.
Pemerintahan Dua Kepala?
Drama ini menimbulkan spekulasi liar: apakah Kota Blitar kini dipimpin oleh “dua kepala” yang berjalan di jalur berbeda?
Beberapa sumber internal menyebut, komunikasi antara Wali Kota dan Wakil sudah renggang sejak beberapa bulan terakhir. “Mereka jarang satu meja. Kalau pun bertemu, hanya acara formal,” ujar salah satu pejabat yang enggan disebut namanya.
Publik menilai, pemerintahan yang terbelah ini bisa berimbas pada pelayanan publik. “Kalau dua pemimpin tidak kompak, yang rugi rakyat,” kata salah satu warga Blitar yang ditemui di alun-alun kota.
Aroma Politik Menjelang 2029
Tak sedikit pula yang menilai konflik ini bukan sekadar soal administrasi mutasi, melainkan tarik menarik pengaruh politik menjelang Pilkada 2029. Elim disebut mulai memiliki basis dukungan sendiri, sementara Syauqul berupaya memperkuat posisi dengan menempatkan pejabat yang dianggap loyal.
Apapun motifnya, pertikaian dua pucuk pimpinan daerah ini menjadi cermin getir dari politik lokal: ego kekuasaan sering kali lebih kuat daripada semangat melayani rakyat.